Review Buku Love for Imperfect Things, Haemin Sunim

Table of Contents
Buku Love for Imperfect Things, karya penulis Haemin Sunim

Ada suatu realita kehidupan yang seringkali orang lupa, yaitu: hidup pasti ada ajaa gak enaknya. Sakit, kecewa, kematian, kegagalan bukanlah kenikmatan yang ada di dunia. Bahkan semakin panjang usia kita, peluang untuk merasakan penderitaan dunia semakin terbuka lebar. 

Kali ini saya akan mengulas buku mengajak kita untuk lebih legawa menerima segala ketidaksempurnaan dalan kehidupan ini. Karena tanpa penerimaan dan upaya kita untuk belajar ikhlas, tantangan menjalani hidup di dunia akan semakin berat. 

Identitas Buku

  • Judul: Love for Imperfect Things, Cara Menerima Diri di Tengah Dunia yang Menuntut Kesempurnaan
  • Judul Asli: Love for Imperfect Things
  • Penulis: Haemin Sunim
  • Penerjemah: Daniel Santosa
  • Penerbit: POP KPG
  • Tahun: 2020
  • Tebal: 295 halaman
  • ISBN: 9786024814304

Tentang Haemin Sunim

Haemin Sunim adalah seorang biksu Buddha Zen yang juga merupakan seorang penulis yang berpengaruh di Korea Selatan. Belajar di UC Berkley untuk kuliah perfilman, namun tanpa disangka Haemin tertarik pada dunia spiritual. Setelah mendapat pelatihan monastik di Korea, sekarang mengajar agama Bussda di Hampshire College di Massachusetts. 

Sekilas isi buku Love for Imperfect Things

Buku ini akan menyadarkan kita bahwa hidup ini tidaklah sempurna. Kita tidak selalu baik-baik saja, ekspektasi kita seringkali meleset dari realita, dan adakalanya kita masih menyimpan luka batin. Meski begitu, mau tidak mau tetap harus dijalani juga. 

Melalui kisah dan pengalaman pribadi Haemin Sunim, kita diberi dorongan semangat dan kebijaksanaan agar kita bisa belajar mencintai diri, merawat diri, membasuh luka-luka kita sendiri terlebih dahulu. Sehingga kita mampu menghadapi hidup yang tidak sempurna ini dengan penuh rasa ikhlas.

Meski ditulis oleh seorang guru Buddha Zen, buku ini masih bisa dibaca siapa saja karena kebanyakan isinya universal, terutama tentang cinta kasih pada diri kita sendiri.

Terdiri dari delapan bab, yaitu Memelihara Diri, Keluarga, Empati, Hubungan, Keberanian, Penyembuhan, Pencerahan, dan Penerimaan. Setiap babnya berisikan pengalaman pribadi penulis tentang keluarganya, teman, pembaca bukunya, dan dirinya sendiri. Di antara tulisan disisipi banyak kutipan tentang kasih sayang dan hikmah kehidupan. 

Bagi pecinta kutipan atau quotes, dalam buku Love for Imperfect Things ini terdapat ratusan kutipan yang bisa jadi pengingat ataupun penyemangat di hari-hari yang berat. Beberapa kutipannya juga bikin jleb di hati.

Ada beberapa highlight dari buku ini, antara lain:

Empat ilustrasi dari pelukis Lee Eunk Kyun dalam buku Love for Imperfect Things karya Haemin Sunim

Menyayangi diri sendiri adalah hal pertama yang harus dilakukan

Kita diingatkan kembali tentang pentingnya menyayangi diri kita terlebih dahulu. Kalau sekarang lebih dikenal dengan self-compassion atau self-love. Menyayangi diri rupanya bukan keegoisan, melainkan bentuk penghormatan kepada diri sendiri. 

Menyayangi diri itu bukannya jadi tidak peduli pada orang lain, melainkan upaya memahami diri sendiri, mengapresiasi kelebihan diri, memaafkan kesalahan diri, dan memaklumi kekurangannya. 

Karena hanya dengan begitu kita bisa melihat lebih jernih setiap masalah yang kita hadapi. Kita juga bisa lebih menerima dan mengasihi sesama, bahkan memaafkan kesalahan mereka. 

Pada Bab pertama buku ini, Haemin menceritakan pengalamannya saat ia masih kuliah di Amerika. Saat itu dia dikenal sebagai orang yang baik. Tapi saking baiknya, Haemin malah dimanfaatkan teman-temannya. Ini membuat dia merasa kesal dengan dirinya sendiri. 

Dari sini Haemin sadar kalau terlalu baik pada oranglain sampai melupakan kebutuhan diri sendiri adalah hal yang konyol. Yang seperti ini dikenal sebagai people pleaser. 

Alih-alih berbuat baik pada orang lain, people pleaser lupa menghargai dirinya sendiri. Mereka sering tertekan karena berusaha dengan keras untuk disukai. Mereka sulit menolak permintaan orang karena takut membuat orang kecewa, tapi di sisi lain mereka kesal pada dirinya sendiri karena tidak berani berkata 'tidak'.  Jadi, kebaikan yang mereka lakukan berlandaskan rasa cemas dan takut dibenci orang lain, bukan altruisme pada sesama. 

Ketika seseorang meminta tolong, jangan lupa bahwa kita punya pilihan untuk berkata, "maaf tapi aku tidak bisa menolongmu." Kita tidak harus mengerjakan sesuatu yang malah akan menjadi beban bagi kita. Dan apabila hubungan kita merenggang karena kita tidak mau menolongnya, berarti sejak awal itu bukan hubungan yang baik. -Hal.15 

Sumber kekecewaan adalah ekspektasi kita sendiri

Penulis berbicara soal kekecewaan. Rasa kecewa lahir akibat ekspektasi kita tidak sesuai dengan realita. Baik ekspektasi kita kepada orang lain, maupun diri kita sendiri

Itulah sebabnya, dengan kesalahan yang sama, kita bisa menjadi lebih kecewa pada sahabat atau keluarga daripada orang asing. Karena kita menaruh ekspektasi yang lebih besar kepada orang-orang terdekat kita, "Seharusnya kan mereka seperti ini". 

Untuk mengurangi rasa kecewa, kita harus belajar menurunkan ekspektasi kita pada semua hal, termasuk pada diri kita sendiri. Kalau kita masih sering kecewa pada diri sendiri, bisa jadi itu karena kita mematok standar atau goal terlalu jauh. Jangan-jangan kita gagal bukan karena tidak mampu, melainkan karena target yang kita patok kurang realistis. 

Tidak perlu buru-buru memaafkan

Di buku ini ada hal yang menarik soal memaafkan orang. 

Sejak kecil kita diajari memaafkan kesalahan orang lain. Kita diberitahu kalau memaafkan adalah hal yang baik, sedangkan sulit memaafkan adalah sifat seorang pendendam. 

Tapi, manusia bukan Tuhan, mereka tidak dirancang untuk mudah memaafkan. Jadi, kalau kita masih kesal dengan kesalahan orang, tidak ada yang memaksa kita untuk buru-buru memaafkan. Luka di kulit saja butuh waktu untuk sembuh, begitu juga luka di hati. 

Langkah pertama yang harus dilakukan saat kita tersakiti adalah mengakui perasaan kita. Akui kalau kita marah, kesal, sakit hati, dll. Sayangi diri kita sendiri dulu, pahami kalau hati kita butuh waktu untuk pulih. Dengan mengenali dan mengakui apa emosi kita, luka akan cepat pulih dan kita jadi lebih mudah memaafkan. 

Memaafkan sebenarnya berbeda dengan mengampuni kesalahan orang, apalagi membenarkan perilakunya. Memaafkan itu lebih kepada merelakan apa yang telah terjadi. 

Memaafkan memang sulit, tapi itu akan membuat mental kita lebih sehat. Dengan memaafkan, jiwa kita akan damai karena tidak lagi terikat oleh jeratan masa lalu yang menyakitkan. 

Orang yang sering menyakiti biasanya menyimpan luka yang belum sembuh di dalam hatinya. Konon, orang yang terluka cenderung mudah melukai orang lain. Kita tentunya tidak mau seperti itu dengan menyimpan luka batin terlalu lama. 

Tidak peduli seberapa bencinya kita kepada seseorang, terus membenci mereka malah akan membuat kita semakin menderita. -Hal.201

Review buku Love for Imperfect Things, Haemin Sunim

Buku ini berformat paperback atau soft-cover yang cukup tebal dengan lipatan pada sisi sampul bagian depan dan belakang. Saya menyukai cover semacam ini. 

Sampul bagian depan dari buku Love for Imperfect Things, Haemin Sunim

Buku ini memiliki nilai estetika lebih. Semua ilustrasi cantik dan bikin adem di buku ini adalah karya pelukis Lee Eunk Kyun. 

Secara garis besar, isi buku ini adalah tentang bagaimana cara kita menghadapi kesulitan hidup dengan cinta kasih, terutama pada diri kita sendiri.

Gaya bahasanya ringan dan terjemahannya enak dibaca. Tidak ada yang baru di dalamnya, tulisan serupa pernah saya baca di buku lain. Meski begitu bukan berarti ini buku yang jelek, hanya saja kebetulan saya pernah membaca buku yang mirip-mirip. 

Buku ini juga sangat cocok untuk penyuka kutipan, pembaca pemula self-improvement dan untuk penyuka karya seni lukis. Karena memiliki nilai estetika, buku ini menurut saya layak dijadikan hadiah. 

Kelebihan

  • Banyak kutipan-kutipan yang bagus 
  • Ilustrasinya sangat indah dan gak pasaran 
  • Cocok untuk dijadikan koleksi dan kado

Kekurangan

  • Tidak ada insight baru yang saya peroleh
  • Beberapa nilai dan moral tidak begitu cocok dengan kepribadian dan pandangan hidup saya. 

Rating: ⭐️⭐️⭐️ 3/5 untuk buku self-help yang aesthetic!!

Salbi
Salbi Seorang minimalist yang senang membaca