Pengalaman Decluttering Mainan Anak (Bagian 1)
Menjalani hidup minimalis selama kurang lebih tiga tahun rupanya tidak membuat saya berhenti melakukan decluttering. Sampai hari ini, saya masih terus mengurangi jumlah pakaian, sepatu, isi meja rias, hingga mainan anak-anak.
Dan bicara soal anak-anak, mereka adalah salah satu tantangan terbesar dalam hidup minimalis. Mengajak mereka mengurangi jumlah barang yang dimiliki itu gampang-gampang susah, terutama kalau sudah urusan mainan.
Saya sendiri tidak pernah memaksakan, tapi selalu mencoba mengajak mereka untuk menyortir mainan yang sudah tidak digunakan. Jika masih layak, kami berikan ke orang yang membutuhkan; jika benar-benar rusak, ya dibuang saja.
Untungnya, anak-anak saya termasuk manis dan pengertian. Mereka cukup mudah diajak berbagi dan lumayan sadar mana mainan yang bisa dikurangi.
Tapi tentu saja, tidak selalu semudah itu. Beberapa mainan yang punya nilai kenangan biasanya tetap ingin mereka simpan, meskipun kondisinya sudah rusak dan tidak layak dimainkan.
Contohnya, boneka-boneka binatang yang mereka beli waktu TK saat kami pergi ke Taman Safari. Sekarang boneka itu sudah kumal, tapi setiap kali saya ajak decluttering mainan, mereka masih enggan menyingkirkannya.
Ada juga mainan yang sebenarnya sudah tidak sesuai usia, tapi tetap mereka sukai. Ini juga termasuk yang sulit dibenahi. Misalnya, Sylvanian Family atau boneka Miichan milik anak perempuan saya yang sebentar lagi masuk SMP. Di usianya sekarang, rasanya masa main boneka sudah lewat, ya? Tapi dia tetap kekeuh ingin menyimpan semuanya, padahal saya sudah sempat kepikiran untuk menjualnya di marketplace, haha.
Sempat terlintas untuk menyingkirkan semua itu diam-diam, karena mereka juga sering lupa dengan mainan-mainan lamanya. Tapi sepertinya cara itu tidak adil untuk mereka. Toh, saya sendiri yang sudah sebesar ini masih sering kesulitan menyingkirkan barang-barang yang punya nilai sentimental.
Jadi ya, tidak perlu terburu-buru. Saya memilih untuk menikmati prosesnya saja.