Pengalaman Decluttering Mainan Anak (Bagian 3): Refleksi
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari dua bagian sebelumnya tentang decluttering mainan.
Beberapa waktu lalu, saya baru saja kembali melakukan decluttering mainan untuk kesekian kalinya selama menjalani hidup minimalis.
Kali ini, prosesnya terasa jauh lebih mudah dan singkat dibanding sebelumnya. Salah satu alasannya karena anak-anak sudah mulai jarang membeli mainan baru. Selain itu, mereka juga semakin kooperatif dan enak diajak bekerja sama dalam proses decluttering.
Mendidik Anak Lewat Decluttering Mainan
Setiap melakukan decluttering mainan, saya selalu mengikutsertakan anak-anak sejak awal. Mereka biasanya membantu memilih mainan mana yang masih ingin dimainkan. Setelah itu, saya yang melanjutkan proses beres-beresnya.
Tapi, melibatkan anak bukan hanya soal efisiensi. Bagi saya, ini juga bagian dari cara mendidik mereka. Karena di balik kegiatan decluttering, ada banyak pelajaran penting yang bisa mereka dapatkan.
1. Mengajarkan anak agar tidak mubazir
Namanya juga anak-anak, kadang ingin memiliki semuanya. Maka, meminta mereka untuk mengurangi barang milik sendiri bisa menjadi tantangan tersendiri. Tapi di sinilah peran orang tua, memberikan pemahaman bahwa sebagian dari apa yang kita miliki, bisa jadi lebih bermanfaat jika diberikan kepada orang lain.
Melalui decluttering, mereka belajar konsep mubazir, bahwa barang yang tidak terpakai itu bisa menjadi sia-sia. Dan barang yang mubazir itu akan lebih baik jika dimanfaatkan oleh orang lain yang lebih membutuhkan. Jadi selain belajar soal kesederhanaan, mereka juga belajar berbagi.
2. Membantu anak belajar membuat keputusan
Saat anak diminta menyortir mainan, mereka tidak sembarangan memilih. Ada proses mental yang terjadi menimbang, mengingat, lalu memutuskan mana yang akan disimpan dan mana yang tidak.
Kemampuan menyortir ini juga merupakan salah satu aspek keterampilan pra-matematika. Oleh karena itu, melibatkan anak dalam proses decluttering sudah sangat tepat dilakukan sejak usia prasekolah.
Bagi saya pribadi, proses menyortir barang ini juga menjadi latihan kejujuran terhadap diri sendiri. Kadang saya masih menyimpan barang hanya karena harganya mahal, padahal saya tidak menyukainya atau bahkan tidak cocok saat digunakan.
Yah, decluttering memang tidak selalu mudah bagi orang dewasa, apalagi untuk anak-anak. Maka dari itu, saya tidak pernah memaksa mereka untuk mengurangi barang-barangnya.
3. Melatih anak merapikan barang milik pribadi
Anak-anak memang cenderung berantakan. Saat mereka bermain dan ruangan berubah seperti kapal pecah, seringkali ibulah yang membereskan semuanya. Meskipun terasa lumrah, tentu kita tidak bisa membiarkan mereka terus berada dalam kebiasaan itu.
Melalui decluttering, anak-anak belajar untuk mulai bertanggung jawab pada barang-barang mereka sendiri. Di akhir proses, mainan yang masih disimpan akan dirapikan kembali, dan biasanya anak-anak yang melakukannya dengan sedikit bantuan dari saya.
Biasanya, mainan mereka disimpan di dalam box plastik. Tapi kali ini, anak-anak justru memutuskan untuk menyimpan semuanya di rak buku yang agak kosong yang bebrapa bukunya sudah saya pindahkan ke rak lain.
Menurut saya, ini ide yang bagus. Jumlah mainan mereka sekarang sudah jauh lebih sedikit, jadi pasti muat. Lagipula, menyimpan mainan di tempat yang terlihat justru membuat mereka lebih mudah merawat dan merapikannya. Mainan juga tidak cepat rusak karena tidak dijejalkan satu sama lain.
Dari sini, saya mulai melihat tumbuhnya inisiatif mereka untuk lebih rapi dan bertanggung jawab terhadap barang-barang pribadi.
Di bawah ini adalah foto sisa mainan milik anak-anak saya saat ini. Kira-kira hanya tersisa sepertiga dari seluruh mainan sebelumnya. Berkurang sangat banyak!